Pages

Wednesday, January 26, 2011

Praktek Keikhlasan dari Sepotong AKAR

Seperti hari sebelumnya, suatu pagi, saya beli nasi uduk untuk sarapan pagi gadis-kecilku yang masih duduk di TK.
Biasanya dia berangkat agak siang, masuk sekolah jam 8 pagi, sementara kedua kakaknya berangkat duluan, masuk jam 7 pagi. Mereka bertiga belajar di sekolah alam yang ada di Yogja, kira-kira  40 menit perjalanan dari rumah.  Agar waktunya effisien, si adik mulai dibiasakan bangun dan berangkat lebih pagi, jam 6.30.

Konsekuensinya, si adik harus sarapan di mobil disuapin kedua kakaknya, bergantian, atau kadang-kadang minta makan sendiri, gak mau disuapi. Sarapan kesukaannya adalah nasi kuning atau nasi uduk.

Pagi itu tidak seperti hari sebelumnya, dari jauh terlihat antrian pembelinya lebih bayak dari biasanya. Sampai di tempat, terhitung ada 6 orang calon pembeli menunggu giliran, saya yang ke 7. Termasuk seorang pemuda yang naik sepeda ontel. Dia datang beberapa detik lebih dulu dari saya. Di belakang sepeda itu, di boncengannya,  ada beberapa peralatan untuk kerja di sawah. Pada kakinya yang telanjang terlihat masih ada lumpur-lumpur kecil yang menempel. Pakaiannya sangat sederhana, ada bekas sobekan yang dijahit dengan tangan. Pada saat itu jam 6.20 menitan.

Sambil menunggu giliran, saya coba untuk menghitung waktu. Kira-kira saya bakal dapat giliran setelah jam 6.30. Pemuda tadi mendekat ke meja dan memesan sebungkus nasi uduk.
Pembeli pertama (beli 2 bungkus) selesai dilayani oleh ibu penjual nasi yang dibantu oleh suaminya. Harganya cukup murah Rp. 3.500,-/bungkus. Karena gak ada kembalian, bapak tadi pergi untuk menukarkan uang. Pemuda tadi tampak sedang mengamati si ibu penjual dalam melayani pembelinya. Beberapa saat kemudian pemuda tadi sudah sibuk memasukkan nasi uduk, krupuk dan gorengan pesanan pembeli ke dalam tas plastik. Kelihatannya pemuda tadi ingin membantu ibu penjual nasi tadi untuk mempercepat waktu pelayanannya.

Tiba giliran pemuda tadi. “Nasinya pedes, mas?” tanya penjual nasi. Sambil mengangguk, pemuda tadi malah mempersilahkan agar saya dilayani duluan. Rupanya dia ikhlas memberikan antriannya pada orang lain. Begitu dapat nasi pesanan, saya langsung pulang dan ngucapin terima kasih pada pemuda tadi.

Ada beberapa pelajaran yang saya dapatkan dari pengalaman di atas:
·          
  • Busy while waiting. Pada saat menunggu giliran, pemuda tadi menyibukkan diri dengan pekerjaan yang berguna bukan saja untuk dirinya, tapi juga berguna untuk orang  lain.
  • Keikhlasan AKAR. Pada postingan terdahulu saya cerita tentang nasihat seorang teman tentang pelajaran ikhlas ala akar tanaman. Keikhlasan yang menumbuhkan dan mengembangkan. Keikhlasan yang hidup dan menghidupkan. Pemuda tadi telah dengan sukses mempraktekkan keikhlasan seperti akar tanaman.
  • Mengamalkan kebaikan dengan 3 M. Meminjam kata-kata Aa Gym, kalau mau berubah lebih baik lakukan dengan metode 3M :
Mulailah dari diri sendiri,
Mulailah dari yang kecil,
Mulailah dari saat ini.

  • Memperluas networking. Apa yang dilakukan oleh pemuda tadi, insya Allah pasti menarik perhatian orang lain. Perbuatannya menunjukkan kualitas dirinya yang sangat menghargai waktu dan suka menolong. Hal ini akan menjadi promosi yang akan menaikkan nilai jualnya. Akan semakin banyak orang yang mengenal dia. Dia telah melakukan sesuatu yang berbeda untuk mencapai sebuah keunggulan.
Matur nuwun Gusti Allah, Engkau telah menyampaikan contoh konkrit  praktek keikhlasan AKAR pada hari ini.

0 comments: