Pages

Thursday, February 7, 2013

PILIH YANG MANA?

“YA” atau “TIDAK”

Jika boleh memilih, mana yang lebih disukai, punya bawahan yang lebih sering mengatakan “YA” atau “TIDAK”?  Bisa dipastikan akan lebih banyak yang menyukai bawahan yang sering bilang “YA”. Bahkan ada beberapa pinpinan yang mengukur tingkat loyalitas bawahannya dari berapa banyak kata “YA” yang diucapkan. Walau kalau di belakang punggung mengatakan sebaliknya.

Ada juga yang berpikir melawan arus (biasanya orang seperti ini jumlahnya ga banyak). Bila menerima calon bawahan, ia justru lebih suka milih calon yang berani bilang “TIDAK”. Hal ini memang sepertinya ide aneh dan gila. Kenapa ? Sebenarnya orang yang suka menganggukkan kepala lebih susah diantisipasi perilakunya. Siapa yang bisa menjamin, kalau bawahan mengangguk saat di meeting berarti semua kesepakatan akan berjalan mulus?. Dengan menganggukkan kepala, orang cenderung menganggap bahwa persoalan selesai dan kemudian berpangku tangan. Bila nanti ada penyimpangan, biasanya atasan akan mengeluarkan gaya kepemimpinan ala pemadam kebakaran.

Bagamana dengan orang yang suka mengarakan “TIDAK”? Sebenarnya, mereka itu gampang ditebak. Dengan sedikit kesabaran mendengarkan, kita bisa mengetahui dengan jelas apa kemauannya, untuk kemudian menyiapkan antisipasinya. Selain itu, orang yang suka bilang “TIDAK” sering membawa kita pada perdebatan menuju hal-hal yang lebih baik dan lebih dalam, yang tadinya belum diperhitungkan, sehingga pemecahan masalah menjadi lebih mengena.

Pertanyaan yang kemudian muncul adalah, kenapa banyak atasan yang suka menggantungkan diri pada kata “YA” dibandingkan  “TIDAK”?  Atau, kenapa bawahan merasa lebih aman dengan kata “YA” dibanding kan “TIDAK”?  Atasan yang berperilaku demikian memang disebabkan banyak hal. Namun, persoalannya sering berawal pada kurang (atau malah tidak adanya) kepercayaan kepada bawahan.

Lihat saja, kengganan para pimpinan mendelegasikan wewenang, banyaknya surat yang harus melalui meja bos, menumpuknya persoalan yang tertunda menunggu rekomendasi pimpinan. Bahkan ada seorang presdir sebuah perusahaan yang masih ikut mengurusi soal parkir karyawan. Aneh ? Tentu saja, tidak. Terutama bagi mereka yang malang-melintang di organisasi yang terlalu berat ke atas. Dalam kondisi demikian, hampir tidak dikenal kamus begin with tust, end with commitment. Yang terakhir ini penting, karena tidak jarang banyak komitmen jangka panjang yang tidak didasari kepercayaan. Tanpa ini, yang ada hanya komitmen semu, yang dibungkus rasa takut, dan sakit hati (yang menunggu waktu untuk meledak).

Ada seorang pimpinan yang punya pengalaman tentang bawahan yang seringkali bilang “YA”. Saat awal bekerja di tempat baru, ia dihadapkan pada perilaku bawahan yang mains-manis. Jarang ada yang berani menolak perintahnya. Saking nurutnya, saranpun dianggap sebuah titah yang harus dijalankan. Setelah diusut, ternyata, belum pernah ada dalam sejarah perusahaan tersebut, bawahan diajak bersama-sama ikut memutuskan hal-hal penting. Kalaupun ada, itu hanya teknik manipulatif agar perusahaan dikesankan partisipatif oleh pihak luar.

Lebih parahnya lagi, orang-orang pintar dan vokal (walau mereka berprestasi) sering kali kena cekal, bahkan kadang-kadang malah menjadi tumbal dari gincu keterbukaan yang ditiupkan bagian public relation. Menyadari kondisi semacam ini, ada yang mencoba melakukan perubahan. Beberapa bawahannya mulai dipercaya untuk memutuskan, staf yang berpotensi dikirim ikut seminar dan lokakarya, setiap meeting selalu didorong agar orang berani mengemukakan pendapat. Sebulan sekali dilakukan free talking, kalau ada masalah kadang sengaja dilepas agar orang bisa belajar.

Beberapa tahun kemudian, pimpinan tadi diminta mengundurkan diri dengan hormat oleh pemilik perusahaan itu. Akibatnya? Setiap kali ada hambatan dalam industri, perusahaan ini menjadi pihak pertama yang berteriak kesakitan dan meminta perlindungan pemerintah.
Seperti itukah kondisi organisasi kita pada umumnya ? Jerry B Harvey, pernah menulis di Organizational Dynamics (edisi summer 1988) : “The inability to cope with (manage) agreement, rather than the inability to cope with (manage) conflict, is the single most pressing issue of modern organization.”

Makanya, waspadalah jika bawahan kita hanya bisa mengatakan “YA”, lebih waspada lagi kalau hal demikian sudah menjadi tradisi/budaya.

Sumber : Praktek Kepemimpinan Berdasarkan Air, Gde Prama, 1996.