“YA” atau “TIDAK”
Jika boleh memilih, mana yang lebih disukai, punya
bawahan yang lebih sering mengatakan “YA” atau “TIDAK”? Bisa dipastikan akan lebih banyak yang
menyukai bawahan yang sering bilang “YA”. Bahkan ada beberapa pinpinan yang mengukur
tingkat loyalitas bawahannya dari berapa banyak kata “YA” yang diucapkan. Walau
kalau di belakang punggung mengatakan sebaliknya.
Ada juga yang berpikir melawan arus (biasanya
orang seperti ini jumlahnya ga banyak). Bila menerima calon bawahan, ia justru
lebih suka milih calon yang berani bilang “TIDAK”. Hal ini memang sepertinya
ide aneh dan gila. Kenapa ? Sebenarnya orang yang suka menganggukkan kepala
lebih susah diantisipasi perilakunya. Siapa yang bisa menjamin, kalau bawahan
mengangguk saat di meeting berarti semua kesepakatan akan berjalan mulus?.
Dengan menganggukkan kepala, orang cenderung menganggap bahwa persoalan selesai
dan kemudian berpangku tangan. Bila nanti ada penyimpangan, biasanya atasan
akan mengeluarkan gaya kepemimpinan ala pemadam kebakaran.
Bagamana dengan orang yang suka mengarakan
“TIDAK”? Sebenarnya, mereka itu gampang ditebak. Dengan sedikit kesabaran
mendengarkan, kita bisa mengetahui dengan jelas apa kemauannya, untuk kemudian
menyiapkan antisipasinya. Selain itu, orang yang suka bilang “TIDAK” sering
membawa kita pada perdebatan menuju hal-hal yang lebih baik dan lebih dalam,
yang tadinya belum diperhitungkan, sehingga pemecahan masalah menjadi lebih
mengena.
Pertanyaan yang kemudian muncul adalah, kenapa
banyak atasan yang suka menggantungkan diri pada kata “YA” dibandingkan “TIDAK”?
Atau, kenapa bawahan merasa lebih aman dengan kata “YA” dibanding kan
“TIDAK”? Atasan yang berperilaku
demikian memang disebabkan banyak hal. Namun, persoalannya sering berawal pada
kurang (atau malah tidak adanya) kepercayaan kepada bawahan.
Lihat saja, kengganan para pimpinan mendelegasikan
wewenang, banyaknya surat yang harus melalui meja bos, menumpuknya persoalan
yang tertunda menunggu rekomendasi pimpinan. Bahkan ada seorang presdir sebuah
perusahaan yang masih ikut mengurusi soal parkir karyawan. Aneh ? Tentu saja,
tidak. Terutama bagi mereka yang malang-melintang di organisasi yang terlalu berat ke
atas. Dalam kondisi demikian, hampir tidak dikenal kamus begin
with tust, end with commitment. Yang terakhir ini penting, karena tidak
jarang banyak komitmen jangka panjang yang tidak didasari kepercayaan. Tanpa
ini, yang ada hanya komitmen semu, yang dibungkus rasa takut, dan sakit hati
(yang menunggu waktu untuk meledak).
Ada seorang pimpinan yang punya pengalaman tentang
bawahan yang seringkali bilang “YA”. Saat awal bekerja di tempat baru, ia
dihadapkan pada perilaku bawahan yang mains-manis. Jarang ada yang berani
menolak perintahnya. Saking nurutnya, saranpun dianggap sebuah titah yang harus
dijalankan. Setelah diusut, ternyata, belum pernah ada dalam sejarah perusahaan
tersebut, bawahan diajak bersama-sama ikut memutuskan hal-hal penting. Kalaupun
ada, itu hanya teknik manipulatif agar perusahaan dikesankan partisipatif oleh
pihak luar.
Lebih parahnya lagi, orang-orang pintar dan vokal
(walau mereka berprestasi) sering kali kena cekal, bahkan kadang-kadang malah
menjadi tumbal dari gincu keterbukaan yang ditiupkan bagian public relation. Menyadari kondisi
semacam ini, ada yang mencoba melakukan perubahan. Beberapa bawahannya mulai
dipercaya untuk memutuskan, staf yang berpotensi dikirim ikut seminar dan
lokakarya, setiap meeting selalu didorong agar orang berani mengemukakan
pendapat. Sebulan sekali dilakukan free talking, kalau ada masalah kadang sengaja dilepas agar orang bisa belajar.
Beberapa tahun kemudian, pimpinan tadi diminta
mengundurkan diri dengan hormat oleh pemilik perusahaan itu. Akibatnya? Setiap
kali ada hambatan dalam industri, perusahaan ini menjadi pihak pertama yang
berteriak kesakitan dan meminta perlindungan pemerintah.
Seperti itukah kondisi organisasi kita pada
umumnya ? Jerry B Harvey, pernah menulis di Organizational
Dynamics (edisi summer 1988) : “The inability to cope with (manage)
agreement, rather than the inability to cope with (manage) conflict, is the
single most pressing issue of modern organization.”
Makanya, waspadalah jika bawahan kita hanya bisa
mengatakan “YA”, lebih waspada lagi kalau hal demikian sudah menjadi
tradisi/budaya.
Sumber : Praktek Kepemimpinan Berdasarkan Air, Gde
Prama, 1996.